Sedari kecil, kita biasa diminta orang dewasa menjelaskan cita-cita kita saat besar nanti.
Ada yang mau menjadi tentara. Ada yang mau menjadi pilot. Ada juga yang ingin menjadi dokter.
Namun, ketika ditanya, "siapa yang mau menjadi badut?", tak satu pun mengangkat tangannya.
Kecuali satu bocah berusia 10 tahun kala itu. Bocah itu bernama Salamun.
Anak itu dengan berani menantang ide orang banyak tentang cita-cita yang ideal, bahwa untuk menjadi orang sukses, kau harus menyandang profesi tertentu.
Hal itu tidak berlaku buat Salamun. Ia sejak kecil memang ingin menjadi badut.
Pagi-pagi, saya mendatangi rumahnya yang ada di dalam gang permukiman padat penduduk di Kota Magelang.
Rumahnya hanya rumah kecil yang ruang tamunya hanya berjarak sejengkal kaki dengan tembok rumah sebelah. Ia tinggal dengan kakaknya di rumah sepetak itu.
Waktu itu dia sedang duduk di depan rumahnya sesaat saya menghampirinya.
"Monggo mas, masuk saja," katanya basa-basi. Ia mengajak saya ke dalam. Hanya ada sofa yang sudah usang dan barang-barang yang bertumpuk.
Pria berusia 54 tahun itu terlihat bersahaja. Pakaiannya sederhana, seperti bapak-bapak pada umumnya. Mungkin sedikit yang menyangka beliau badut.
"Mau kopi mas atau teh?" sambutnya ramah. Saya menolak dengan halus, karena tak ingin bikin repot.
Sembari kita ngobrol, dia pun mulai bercerita tentang profesinya. Ternyata ia sudah menyukai badut sejak usia 10 tahun.
Berbekal kegemarannya itu, dia berkarya hingga sekarang.
Sebelumnya, ia pernah bekerja jadi baby sister dan merawat tiga orang anak. Lalu, ia memutuskan jadi badut hingga sekarang usianya sudah 54 tahun.
"Saya jadi badut udah lama, udah berapa tahun ya. Semenjak ada Inul Daratista, keluar goyang ngebor itu keluar. Saya jadi badut belum terkenal, cuma panggung dikasih Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, kalau manggung saya terima," tutur lelaki paruh baya ini.
Mengapa menjadi badut? Salamun mengatakan ini sudah menjadi keputusannya sejak awal. Oleh karena itu, ia menjalaninya dengan suka hati.
Badut, profesi yang tak semua orang cita-citakan. Cameo di antara jutaan pemeran utama. Terpinggirkan oleh ekonomi dan kelas sosial.
Namun, baginya panggilan hati lebih penting.
Dulu, ia sempat ingin menjadi tabib, karena suka mengobati orang yang sakit.
Tapi menjadi badut pun sama. Dengan caranya ia mengobati. Menghibur hati anak-anak yang sedih. Menghibur orang-orang sekitarnya.
Meski penghidupannya tak banyak, Salamun mencukupkan diri. Melihat orang yang dihiburnya bahagia, itu sudah cukup membuatnya bahagia.
Tak perhitungan. Kadang-kadang, ia juga menerima panggilan dengan bayaran semampunya.
Kalau tetangga sekitar, ia bahkan bisa berpentas secara cuma-cuma.
"Semisal, pak aku punya dana Rp200 ribu, nggak apa-apa. Nanti saya buat sulap Rp 100 ribu, nanti yang nganteri saya kasih Rp 50 ribu, nanti yang Rp 25 ribu tak bagi-bagikan ke anak-anak, saya untung Rp 25 ribu buat ganti wedak," kata Salamun.
"Kalau tetangga sini? Nggak usah bayar. Jadi biasanya tak usah bayar. Kasih 100, tapi buat hadiah buat anak-anak," tambahnya.
Waktu pandemi kemarin Salamun dan tukang-tukang lain sempat tiarap.
Mereka harus libur karena sepi orderan dan terpaksa harus banting setir, demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Salamun pun menjajal berjualan kembang hias kertas buat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meski sulit, ia bertahan. Hinggga sekarang.
Salamun pun tak tahu sampai kapan mau menggeluti profesi ini. Mungkin sampai namanya bisa menjadi kenyataan. Badut Miliarder.
Yang jelas panggilan hatinya ada di sini, dan ia tak perlu mencarinya ke mana-mana lagi.
(Teks dan foto oleh Rendika Ferri K)
Artikel ini juga telah tayang di https://jogja.tribunnews.com/2020/08/13/kisah-tukang-badut-di-kota-magelang-yang-banting-stir-jadi-penjual-kembang-hias-di-tengah-pandemi