Guru Ujang Berjuang untuk Kesetaraan

Guru Ujang Berjuang untuk Kesetaraan
"Khoirunnas Anfauhum Linnas–sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain"

Saya selalu haru mendengar sepenggal kutipan ini. Terlebih saat kalimat itu diucapkan oleh Ujang Kamaludin (43), seorang guru tunanetra yang sedari lahir tak dikaruniai penglihatan.

Namun yang membuat saya lebih kagum adalah semangatnya untuk berbagi kepada sesama yang jauh melampaui seluruh keterbatasannya.

Ujang terpanggil menjadi guru. Tak mampu melihat, tetapi ia mampu memberikan ilmu kepada siswa-siswanya.

Saya pun bertanya kepada beliau alasan beliau melakukan ini disaat banyak keterbatasan.

"Mas, saya ini sejak lahir sudah seperti ini. Orangtua saya cerita, saat saya masih umur 40 hari, mata rapet, ga bisa melihat. Namun di hati, saya tetap bahagia. Ini adalah amanah tuhan, untuk memberikan pelajaran, bagimana untuk menjadi manusia yang terbaik dan bermanfaat untuk sesama," kata Ujang saat ditemui di sela-sela waktu mengajarnya di SMK Negeri 1 Salam, Magelang.

Saya dasarnya cengeng. Setiap mendengar kisah serupa tak bisa menahan air mata. Namun, ketika melihat lagi Ujang dengan semangatnya, senyum saya mengembang kembali.

Ujang saat mengajar para siswanya di SMK Negeri 1 Salam, Magelang.

Seakan menepis semua keraguan dan melebur segala dinding pembatas, Ujang membuktikan dirinya mampu.

Ia berhasil menempuh pendidikannya dari SD, bahkan sampai meraih gelar S2.

Pendidikan SD hingga SMP di Bandung ditempuhnya sampai lulus. Ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah Maguwoharjo pada 1993.

Selepas lulus Aliyah, Ujang diterima di Universitas Islam Indonesia, jurusan Tarbiyah, Fakultas Agama Islam, lulus dengan beasiswa pada 1996.

Seakan tak cukup, ia melanjutkan lagi pendidikan S2 di kampus yang sama dan menyelesaikannya selama kurang dari dua tahun di 2002.

Ia kemudian mendaftarkan diri sebagai guru di Kementerian Agama dan diterima.

Ujang selalu menekankan kepada siswanya bahwa semakin pendidikan itu inklusi, masyarakat akan semakin humanis. (Photographer/Rendika Ferri K)

Awal karir mengajarnya dari SLB Ma'arif selama tiga tahun, kemudian dipindah ke SMK Sholikhah Muntilan, dan terakhir di SMK Negeri 1 Salam.

"Total sudah 15 tahun saya menjadi seorang guru, dan tak pernah ada merasakan lelah, capek, atau apa. Saya senang mengajar, dan ada rasa bahagia ketika saya mengajar anak-anak," tuturnya.

Ia bercerita kalau awalnya susah jadi guru di sekolah umum. Ia perlu menyesuaikan medan di sekolah, letak ruang kelas, posisi papan tulis, pintu dan kursi siswa.

"Ya kadang kejedot pintu, nabrak meja haha. Yang salah mejanya, ada orang lewat kok ga minggir," kata Ujang terkekeh.

Ujang telah lama berlatih menulis di papan tulis mengandalkan seluruh indra selain penglihatannya. (Photographer/Rendika Ferri K)

Istrinya Ari Titik Handayani (42) setia menemani ke mana pun Ujang pergi.

Ia menyiapkan sarapan di pagi hari, menyetrika dan memakaikan seragam Ujang. Ia juga mengantarkannya ke sekolah setiap hari dari Sleman ke SMK 1 Salam di Magelang.

Titik juga menemani dan membantu selama ia mengajar di kelas.

"Bapak itu baik, romantis, itu yang menjadikan saya mencintai bapak. Meskipun tak dapat melihat, saya menerima bapak apa adanya. Saya tak pernah lelah, ngurusin bapak kemana mana, itu sudah kewajiban saya menjadi seorang istri," tutur Ari.

Kata Ujang, semakin pendidikan itu inklusi, masyarakat akan semakin humanis.

"Bukan ngasi hak atau kasihan kepada difabel, tetapi kita ini masyarakat yang plural, kalau mau membangun masyarakat ya dimulai dari masyarakat inklusif," pungkasnya.