Sang Nippon Pembela Republik

Sang Nippon Pembela Republik

Tanaka tahu, segera setelah ia beranjak dari tanah kelahirannya, ia mungkin tak dapat pulang. Perang adalah satu tiket pergi, tanpa tiket untuk kembali.

Takdir pun membawanya pergi jauh ke Indonesia. Tanah yang kelak dia bela hingga ujung hidupnya.

Kisah keteguhan hati datang dari Mitsuyuki Tanaka, seorang tentara pendudukan Jepang di Indonesia. Ia membelot dari negaranya dan lebih memilih membela tanah yang dijajahnya.

6 dan 9 Agustus 1945, bom atom meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Tak lama sesudahnya, Jepang menyerah kepada sekutu pada 14 Agustus 1945.

Tanaka saat itu baru tiga tahun bertugas di Indonesia. Namun, tanda akhir kekuasaan Jepang sudah terpampang di depan mata.

Sugiyon, putra Tanaka, memegang foto dan memperlihatkan seragam, katana, dan topi tentara milik ayahnya. (Photographer/Rendika Ferri K)

Seppuku

Panglima Besar ke-16 Tentara Jepang Mayor Jenderal Mabuchi meminta seluruh tentara kembali ke Jepang hingga 15 Juni 1946. Tak terkecuali Tanaka.

Sekutu meminta tentara Jepang segera meninggalkan Indonesia paling lambat Mei 1946. Jika tidak, mereka akan dihukum mati.

Banyak rekan sesama prajurit menolak perintah Mabuchi. Tak sedikit juga yang mengakhiri hidupnya demi kehormatan daripada kalah di medan perang.

Tetapi Tanaka tahu penderitaan rakyat Indonesia di bawah penjajahan Jepang.

Sebagai tentara, mereka semua yang ada di depan moncong senjata adalah musuh. Tetapi sebagai manusia, perang hanya akan membawa penderitaan.

"Daripada saya bunuh diri, tak ada artinya. Daripada mati konyol, lebih baik saya membantu Indonesia. Saya bersumpah mati. Nyawa tak lagi ada harganya kecuali Indonesia merdeka," tutur Sugiyon mengenang ayahnya.

Soetoro

Tanaka menuruti panggilan hatinya untuk membela Indonesia. Ia mengganti namanya menjadi Soetoro dan bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat).

Soetoro bertugas di Magelang di bawah komando Letnan Kolonel Sarbini dengan pangkat Sersan.

Kiprah Tanaka bertempur di berbagai medan pertempuran. Pahit getir ia rasakan dan banyak kisah kepahlawanannya yang heroik.

Seperti saat ia harus memanjat Watertoren untuk menembaki pesawat yang menyerang pejuang Magelang.

Dia juga ikut andil dalam peristiwa Palagan Ambarawa, meski sempat tertembak di bagian dada hingga tembus ke belakang, tetapi ia selamat.

Ia terus berjuang untuk NKRI dan menjadi tentara sampai 1974.

Terakhir berpangkat Mayor, Tanaka pensiun dan mendapatkan pangkat kehormatan Letnan Kolonel.

Piagam Bintang Gerilya dari Presiden Sukarno diberikan pada 10 November 1958.

Soeparti

Seperti kecintaannya dengan tanah yang ditinggalinya, Tanaka jatuh hati pada gadis pribumi.

Pria kelahiran Takayama, Gifu, 10 Oktober 1921 itu menikah dengan gadis asal Salaman, Magelang bernama Suparti pada 1948.

Soetoro dan Soeparti jatuh cinta karena sering bertemu.

Ceritanya, Soeparti sering membawakan bekal makanan untuk para pejuang di Magelang. Dari sana benih-benih cinta itu muncul.

Dari pernikahan ini mereka dikaruniai 11 anak.

Pada 1 Agustus 1998, Sutoro meninggal dunia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Dharmoloyo Magelang.

Sugiyon Tanak, anak dari Mitsuyuki Tanaka alias Soetoro. (Photographer/Rendika Ferri K)

Jangan jadi tentara

Tanaka berpesan kepada anaknya untuk tak menjadi tentara saat tidak ada perang.

Namun, saat negara membutuhkan, tak perlu dipanggil, ajukan diri, kemudian bela tanah air dengan seluruh jiwa dan raga.

Eiichi Hayashi dalam bukunya yang berjudul ‘Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik’ (2011) menyebutkan, berdasarkan data Yayasan Warga Persahabatan (YWP), seusai Perang Dunia II, tercatat 903 orang bekas tentara Jepang ikut perang kemerdekaan RI.

Dari jumlah itu, 288 orang (32 persen) hilang, 243 orang (27 persen) gugur dalam perang, dan 45 orang (5 persen) kembali ke Jepang pada 1950. Sisanya, 342 orang (36 persen) memilih tetap tinggal di Indonesia sebagai warga negara Indonesia.**

(Teks dan foto oleh Rendika Ferri K)